PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN (Studi kasus Putusan Pengadilan Agama Rantauprapat Nomor : 55/Pdt.G/2007/PA-RAP Di Pengadilan Agama Rantauprapat)
Abstract
Perceraian merupakan gejala sosial, yaitu suatu gejala yang erat hubungannya dengan kehidupan dalam keluarga. Keluarga hidup dalam masyarakat, sudah tentu kehidupan keluargapun akan terpengaruh dengan siatuasi dan kondisi masyarakat (interaksi sosial). Masyarakat dapat secara tidak langsung memberikan pengaruh yang baik maupun yang buruk yang dapat mengancam serta menghancurkan kehidupan keluarga.
Dalam hal masyarakat dapat memberikan pengaruh yang baik adalah dimana dalam masyarakat tersebut lebih banyak mengajarkan kepada kita untuk lebih meningkatkan iman dan takwa dalam menghadapi suatu ujian dari Allah SWT dalam hal menghadapi kehidupan rumah tangga. Sedangkan dalam hal masyarakat memberikan pengaruh yang  buruk adalah dimana dalam masyarakat tersebut suatu kekerasan atau suatu hal yang menyimpang lainnya telah menjadi hal yang biasa dan telah mengakar pada masyarakat tersebut. Pelaksanaan pembagian harta bersama sangat penting artinya bagi keduabelah pihak setelah adanya putusan perceraian, dimana mengenai harta benda kita dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama bersama-sama dengan gugatan perceraian begitu juga tentang hak asuh anak dapat diajukan secara langsung dan dalam waktu yang bersamaan.
Pasal 37 Undang-undang Perkawinan mengatakan: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah menurut Hukum Agama, Hukum Adat serta Hukum lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama menurut Pasal 35 Undang-undang Perkawinan ayat 1 mengatakan: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, artinya ialah harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan atas jerih siapa harta benda itu diperoleh selama perkawinan.
Harta bawaan masing-masing dan harta yang diperoleh setelah perkawinan melalui warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing selama keduabelah pihak tidak menentukan lain. Jika ada perjanjian perkawinan mengenai hal tersebut diatas, maka sebagai akibatnya perceraian harus mengindahkan perjanjian tersebut.
Kata Kunci: Harta Bersama, Perkawinan, dan PerceraianFull Text:
PDFReferences
Buku-buku
Ahmad Azhar Basyir, 1988, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan FH-UII, Yogyakarta
Depatemen Agama Republik Indonesia, 1989, Al-Qu’an Dan Terjemahannya, CV. Toha Putera, Semarang.
__________, 1992, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat, Jakarta.
__________, 2001, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta.
Djamil latif, H.M, 1982, Aneka Hukum Perceraian, Bulan Bintang, Jakarta.
Moh. Idris ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Mukti arto, H.A, 1995, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Subekti, 1992, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermas, Jakarta.
Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.
Sulaiman Rasyid, 1959, Fiqih Islam, Djajamurni, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun. 1974.
Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
DOI: https://doi.org/10.36987/jiad.v2i2.412
Refbacks
- There are currently no refbacks.
This journal is also a member of and subscribes to the principles of the Committee on Publication Ethics.Â
Â
All publications by Jurnal Ilmiah Advokasi [p-ISSN: 2337-7216] [E-ISSN: 2620-6625] is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License (CC BY - NC - SA 4.0)
Â